Perjanjian Internasional
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
InfoIsiBAB II
Terkait
Disclaimer
Dokumen peraturan ini ditampilkan sebagai hasil parsing semi-otomatis menggunakan teknologi OCR (Optical Character Recognition).
Oleh karena itu, dimungkinkan terdapat perbedaan format, penulisan, maupun kekeliruan teks dari dokumen aslinya.
Untuk keakuratan dan keabsahan, silakan merujuk pada dokumen resmi/sumber asli peraturan tersebut.
BAB II
PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 4
(1)Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional
dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek
hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak
berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad
baik.
(2)Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik
Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan
prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan
memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional
yang berlaku.
Pasal 5
(1)Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun
nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana
untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan
konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri.
(2)Pemerintah Republik Indonesia dalam mempersiapkan pembuatan
perjanjian internasional, terlebih dahulu harus menetapkan posisi
Pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan dalam suatu pedoman
delegasi Republik Indonesia.
(3)Pedoman delegasi Republik Indonesia, yang perlu mendapat persetujuan
Menteri, memuat hal-hal sebagai berikut :
- latar belakang permasalahan;
- analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia;
- posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan.
(4)Perundingan rancangan suatu perjanjian internasional dilakukan oleh
Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lain
sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan
masing-masing.
Pasal 6
(1)Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan,
perundingan perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan.
(2)Penandatanganan suatu perjanjian internasional merupakan
persetujuan atas naskah perjanjian internasional tersebut yang telah
dihasilkan dan/atau merupakan pernyataan untuk mengikatkan diri
secara definitif sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Pasal 7
(1)Seseorang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dengan tujuan
menerimaan atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau
mengikatkan diri pada perjanjian internasional, memerlukan Surat
Kuasa.
(2)Pejabat yang tidak memerlukan Surat Kuasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 3 adalah :
- Presiden, dan
- Menteri.
(3)Satu atau beberapa orang yang menghadiri, merundingkan, dan/atau
menerima hasil akhir suatu perjanjian internasional, memerlukan Surat
Kepercayaan.
(4)Surat Kuasa dapat diberkan secara terpisah atau disatukan dengan
Surat Kepercayaan, sepanjang dimungkinkan, menurut ketentuan dalam
suatu perjanjian internasional atau pertemuan internasional.
(5)Penandatangan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerja
sama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku
dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara
atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen,
dilakukan tanpa memerlukan Surat Kuasa.
Pasal 8
(1)Pemerintah Republik Indonesia dapat melakukan pensyaratan dan/atau
pernyataan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian internasional
tersebut.
(2)Pensyaratan dan pernyataan yang dilakukan pada saat penandatangan
perjanjian internasional harus ditegaskan kembali pada saat pengesahan
perjanjian tersebut.
(3)Pensyaratan dan pernyataan yang ditetapkan Pemerintah Republik
Indonesia dapat ditarik kembali setiap saat melalui pernyataan tertulis
atau menurut tata cara yang ditetapkan dalma perjanjian internasional.