Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023
InfoIsiBUKU KESATU
BAB I
Bagian Kesatu
Bagian Kedua
Paragraf 1
Paragraf 2
Paragraf 3
Paragraf 4
Paragraf 5
Bagian Ketiga
BAB II
Bagian Kesatu
Paragraf 1
Paragraf 2
Paragraf 3
Paragraf 4
Paragraf 5
Paragraf 6
Paragraf 7
Paragraf 8
Bagian Kedua
Paragraf 1
Paragraf 2
Paragraf 3
BAB III
Bagian Kesatu
Paragraf 1
Paragraf 2
Paragraf 3
Paragraf 4
Paragraf 5
Bagian Kedua
Paragraf 1
Paragraf 2
Bagian Ketiga
Paragraf 1
Paragraf 2
Paragraf 3
Bagian Keempat
Paragraf 1
Paragraf 2
Bagian Kelima
BAB IV
Bagian Kesatu
Bagian Kedua
BAB V
BAB VI
Terkait
Disclaimer
Dokumen peraturan ini ditampilkan sebagai hasil parsing semi-otomatis menggunakan teknologi OCR (Optical Character Recognition).
Oleh karena itu, dimungkinkan terdapat perbedaan format, penulisan, maupun kekeliruan teks dari dokumen aslinya.
Untuk keakuratan dan keabsahan, silakan merujuk pada dokumen resmi/sumber asli peraturan tersebut.
BUKU KESATU
ATURAN UMUM
BAB I
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KETENTUAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA
Bagian Kesatu
Menurut Waktu
Pasal 1
(1)Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
(2)Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.
Pasal 2
(1)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
(2)Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
(3)Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 3
(1)Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundangundangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu Tindak Pidana.
(2)Dalam hal perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan Tindak Pidana menurut peraturan perundangundangan yang baru, proses hukum terhadap tersangka atau terdakwa harus dihentikan demi hukum.
(3)Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan bagi tersangka atau terdakwa yang berada dalam tahanan, tersangka atau terdakwa dibebaskan oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
(4)Dalam hal setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan Tindak Pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.
(5)Dalam hal putusan pemidanaan telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), instansi atau Pejabat yang melaksanakan pembebasan merupakan instansi atau Pejabat yang berwenang.
(6)Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) tidak menimbulkan hak bagi tersangka, terdakwa, atau terpidana menuntut ganti rugi.
(7)Dalam hal setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.
Bagian Kedua
Menurut Tempat
Paragraf 1
Asas Wilayah atau Teritorial
Pasal 4
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan:
- Tindak Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Tindak Pidana di Kapal Indonesia atau di Pesawat Udara Indonesia; atau
- Tindak Pidana di bidang teknologi informasi atau Tindak Pidana lainnya yang akibatnya dialami atau terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di Kapal Indonesia dan di Pesawat Udara Indonesia.
Paragraf 2
Asas Pelindungan dan Asas Nasional Pasif
Pasal 5
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan Tindak Pidana terhadap kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berhubungan dengan:
- keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan;
- martabat Presiden, Wakil Presiden, dan/ atau Pejabat Indonesia di luar negeri;
- mata uang, segel, cap negara, meterai, atau Surat berharga yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, atau kartu kredit yang dikeluarkan oleh perbankan Indonesia;
- perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia;
- keselamatan atau keamanan pelayaran dan penerbangan;
- keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional atau negara Indonesia;
- keselamatan atau keamanan sistem komunikasi elektronik;
- kepentingan nasional Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang; atau
- warga negara Indonesia berdasarkan perjanjian internasional dengan negara tempat terjadinya Tindak Pidana.
Paragraf 3
Asas Universal
Pasal 6
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi
Setiap Orang yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang melakukan Tindak Pidana menurut
hukum internasional yang telah ditetapkan sebagai Tindak
Pidana dalam Undang-Undang.
Pasal 7
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi
Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang penuntutannya
diambil alih oleh Pemerintah Indonesia atas dasar suatu
perjanjian internasional yang memberikan kewenangan
kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan penuntutan
pidana.
Paragraf 4
Asas Nasional Aktif
Pasal 8
(1)Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi
setiap warga negara Indonesia yang melakukan Tindak
Pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
jika perbuatan tersebut juga merupakan Tindak Pidana
di negara tempat Tindak Pidana dilakukan.
(3)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk Tindak Pidana yang diancam dengan
pidana denda paling banyak kategori III.
(4)Penuntutan terhadap Tindak Pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan walaupun tersangka
menjadi warga negara Indonesia, setelah Tindak Pidana
tersebut dilakukan sepanjang perbuatan tersebut
merupakan Tindak Pidana di negara tempat Tindak
Pidana dilakukan.
(5)Warga negara Indonesia di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan Tindak
Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dijatuhi pidana mati jika Tindak Pidana tersebut
menurut hukum negara tempat Tindak Pidana tersebut
dilakukan tidak diancam dengaa pidana mati.
Paragraf 5
Pengecualian
Pasal 9
Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
sampai dengan Pasal 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan
menurut perjanjian internasional yang berlaku.
Bagian Ketiga
Waktu Tindak Pidana
Pasal 10
Waktu Tindak Pidana merupakan saat dilakukannya
perbuatan yang dapat dipidana.Baglan Keempat
Tempat Tindak Pidana
Pasal 11
Tempat Tindak Pidana merupakan tempat dilakukannya
perbuatan yang dapat dipidana.
BAB II
TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Bagian Kesatu
Tindak Pidana
Paragraf 1
Umum
Pasal 12
(1)Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh
peraturan perundang-undangan diancam dengan
sanksi pidana dan/ atau tindakan.
(2)Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu
perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana
dan/atau tindakan oleh peraturan perundangundangan harus bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
(3)Setiap Tindak Pidana selalu bersifat melawan hukum,
kecuali ada alasan pembenar.
Paragraf 2
Permufakatan Jahat
Pasal 13
(1)Permufalatan jahat terjadi jika 2 (dua) orang atau lebih
bersepakat untuk melakukan Tindak Pidana.
(2)Permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana dipidana
jika ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang.
(3)Pidana untuk permufakatan jahat melakukan Tindak
Pidana paling banyak I /3 (satu per tiga) dari maksimum
ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang
bersangkutan.
(4)Permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana yang
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun.
(5)Pidana tambahan untuk permufakatan jahat
melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana
tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.
Pasal 14
Permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana tidak
dipidana, jika pelaku:
- menarik diri dari kesepakatan itu; atau
- melakukan tindakan yang patut untuk mencegah terjadinya Tindak Pidana.
Paragraf 3
Persiapan
Pasal 15
(1)Persiapan melakukan Tindak Pidana terjadi jika pelaku
berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana
berupa alat, mengumpulkan informasi atau men5rusun
perencanaan tindakan, atau melakukan tindakan
serupa yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi
untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara
langsung ditujukan bagi penyelesaian Tindak Pidana.
(2)Persiapan melakukan Tindak Pidana dipidana, jika
ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang.
(3)Pidana untuk persiapan melakukan Tindak Pidana
paling banyak l/2 (satu per dua) dari maksimum
ancarnan pidana pokok untuk Tindak Pidana yang
bersangkutan.
(4)Persiapan melakukan Tindak Pidana yang diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun.
(5)Pidana tambahan untuk persiapan melakukan Tindak
Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak
Pidana yang bersangkutan.
Pasal 16
Persiapan melakukan Tindak Pidana tidak dipidana jika
pelaku menghentikan atau mencegah kemungkinan
terciptanya kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1).
Paragraf 4
Percobaan
Pasal 17
(1)Percobaan melakukan Tindak Pidana terjadi jika niat
pelaku telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan
dari Tindak Pidana yang ditqju, tetapi pelaksanaannya
tidak selesai, tidak mencapai hasil, atau tidak
menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena
semata-mata atas kehendaknya sendiri.
(2)Permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terjadi jika:
- perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditqiukan untuk te{adinya Tindak Pidana; dan
- perbuatan yang dilakukan langsung berpotensi menimbulkan Tindak Pidana yang dituju.
(3)Pidana untuk percobaan melakukan Tindak Pidana
paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum
ancarnan pidana pokok untuk Tindak Pidana yang
bersangkutan.
(4)Percobaan melakukan Tindak Pidana yang diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun.
(5)Pidana tambahan untuk percobaan melakukan Tindak
Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak
Pidana yang bersangkutan.
Pasal 18
(1)Percobaan melakukan Tindak Pidana tidak dipidana
jika pelaku setelah melakukan permulaan pelaksanaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1):
- tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela; atau
- dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tqiuan atau akibat perbuatannya.
(2)Dalam hal percobaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah menimbulkan kerugian atau menurut
peraturan perundang-undangan mempakan Tindak
Pidana tersendiri, pelaku dapat dipertanggungiawabkan
untuk Tindak Pidana tersebut.
Pasal 19
Percobaan melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam
dengan pidana denda paling banyak kategori II, tidak
dipidana.
Paragraf 5
Penyertaan
Pasal 20
Setiap Orang dipidana sebagai pelaku Tindak Pidana jika:
- melakukan sendiri Tindak Pidana;
- melakukan Tindak Pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan ;
- turut serta melakukan Tindak Pidana; atau
- menggerakkan orang lain supaya melakukan Tindak Pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan Kekerasan, menggunakan Ancaman Kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.
Pasal 21
(1)Setiap Orang dipidana sebagai pembantu Tindak Pidana
jika dengan sengaja:
- memberi kesempatan, sar€rna, atau keterangan untuk melakukan Tindak Pidana; atau
- memberi bantuan pada waktu Tindak Pidana dilakukan.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana
yang hanya diancam dengan pidana denda paling
banyak kategori II.
(3)Pidana untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana
paling banyak 213 (dua per tiga) dari maksimum
ancarnan pidana pokok untuk Tindak Pidana yang
bersangkutan.
(4)Pembantuan melakukan Tindak Pidana yang diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun.
(5)Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan
Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk
Tindak Pidana yang bersangkutan.
Pasal 22
Keadaan pribadi pelaku sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2O atau pembantu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 dapat menghapus, mengurangi, atau memperberat
pidananya.
Paragraf 6
Pengulangan
Pasal 23
(1)Pengulangan Tindak Pidana terjadi jika Setiap Orang:
- melakukan Tindak Pidana kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
- pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa.
(2)Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
lnencakup Tindak Pidana yang diancam dengan pidana
minimum khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau
lebih, atau pidana denda paling sedikit kategori III.
(3)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku untuk Tindak Pidana mengenai penganiayaan.
Paragraf 7
Tindak Pidana Aduan
Pasal 24
(1)Dalam hal tertentu, pelaku Tindak Pidana hanya dapat
dituntut atas dasar pengaduan.
(2)Tindak Pidana aduan harus ditentukan secara tegas
dalam Undang-Undang.
Pasal 25
(1)Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan belum berumur
16 (enam belas) tahun, yang berhak mengadu
merupakan Orang Tua atau walinya.
(2)Dalam hal Orang Tua atau wali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak ada atau Orang Tua atau wali itu
sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan
oleh keluarga sedarah dalam garis lurus.
(3)Dalam hal keluarga sedarah dalam garis lurus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada,
pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam
garis menyamping sampai derqiat ketiga.
(4)Dalam hal Korban Tindak Pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Orang Tua, wali,
atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas
ataupun menyamping sampai derajat ketiga, pengaduan
dilakukan oleh diri sendiri dan/atau pendamping.
Pasal 26
(1)Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan berada di
bawah pengampuan, yang berhak mengadu merupakan
pengampunya, kecuali bagi Korban Tindak Pidana
aduan yang berada dalam pengampuan karena boros.
(2)Dalam hal pengampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau pengampu itu sendiri yang harus
diadukan, pengaduan dilakukan oleh suami atau istri
Korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus.
(3)Dalam hal suami atau istri Korban atau keluarga
sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga
sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.
Pasal 27
Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan meninggal dunia,
pengaduan dapat dilakukan oleh Orang Tua, anak, suami,
atau istri Korban, kecuali jika Korban sebelumnya secara
tegas tidak menghendaki adanya penuntutan.
Pasal 28
(1)Pengaduan dilakukan dengan cara menyampaikan
pemberitahuan dan permohonan untuk dituntut.
(2)Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan secara lisan atau tertulis kepada Pejabat yang
berwenang.
Pasal 29
(1)Pengaduan harus diajukan dalam tenggang waktu:
- 6 (enam) Bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya Tindak Pidana jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau
- 9 (sembilan) Bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya Tindak Pidana jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)Jika yang berhak mengadu lebih dari 1 (satu) orang,
tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung sejak tanggal masing-masing pengadu
mengetahui adanya Tindak Pidana.
Pasal 30
(1)Pengaduan dapat ditarik kembali oleh pengadu dalam
waktu 3 (tiga) Bulan terhitung sejak tanggal pengaduan
diajukan.
(2)Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan
lagi.
Paragraf 8
Alasan Pembenar
Pasal 31
Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak
dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan untuk
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 32
Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak
dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan untuk
melaksanakan perintah jabatan dari Pejabat yang
berwenang.
Pasal 33
Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak
dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan karena keadaan
darurat.
Pasal 34
Setiap Orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang
dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan
karena pembelaan terhadap serangan atau ancarnan
serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri
sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan,
atau harta benda sendiri atau orang lain.
Pasal 35
Ketiadaan sifat melawan hukum dari Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayal (2) merupakan
alasan pembenar.
Bagian Kedua
Pertanggungjawaban Pidana
Paragraf 1
Umum
Pasal 36
(1)Setiap Orang hanya dapat dimintai
pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang
dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.
(2)Perbuatan yang dapat dipidana merupakan Tindak
Pidana yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan
Tindak Pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat
dipidana jika secara tegas ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 37
Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, Setiap Orang
dapat:
- dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsurunsur Tindak Pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan; atau
- dimintai pertanggungiawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan oleh orang lain.
Pasal 38
Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana
menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas
intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai
tindakan.
Pasal 39
Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana
menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan
kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/ atau
disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat
dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.
Paragraf 2
Alasan Pemaaf
Pasal 40
Pertanggunglawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap
anak yang pada waktu melakukan Tindak Pidana belum
berumur 12 (dua belas) tahun.
Pasal 41
Dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun
melakukan atau diduga melakukan Tindak Pidana, penyidik,
pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional
mengambil keputusan untuk:
- menyerahkan kembali kepada Orang Tua/wali; atau
- mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik pada tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) Bulan.
Pasal 42
Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dipidana
karena:
- dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau
- dipaksa oleh adanya ancarnan, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari.
Pasal 43
Setiap Orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang
melampaui batas yang langsung disebabkan keguncangan
jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman ser€rngan
seketika yang melawan hukum, tidak dipidana.
Pasal 44
Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak
mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang
diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah
tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya,
termasuk dalam lingkup pekerjaannya.
Paragraf 3
Pertanggungjawaban Korporasi
Pasal 45
Korporasi merupakan subjek Tindak Pidana.
Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan
terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, atau yang disamakan
dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan
hukum maupun tidak berbadan hukum, badan usaha
yang berbentuk lirma, persekutuan komanditer, atau
yang disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 46
Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan Tindak Pidana
yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan
fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang
yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan
hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama
Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi, dalam
lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Pasal 47
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46,
Tindak Pidana oleh Korporasi dapat dilakukan oleh pemberi
perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi
yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat
mengendalikan Korporasi.
Pasal 48
Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 dan Pasal 47 dapat dipertanggungjawabkan, jika:
- termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi;
- menguntungkan Korporasi secara melawan hukum;
- diterima sebagai kebijakan Korporasi;
- Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana; dan/ atau
- Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.
Pasal 49
Pertanggunglawaban atas Tindak Pidana oleh Korporasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dikenakan terhadap
Korporasi, pengurus yang mempunyai kedudukan
fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/ atau
pemilik manfaat Korporasi.
Pasal 50
Alasan pembenar dan alasan pemaaf yang dapat diajukan
oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional,
pemberi perintah, pemegang kendali, dan/ atau pemilik
manfaat Korporasi dapat juga diajukan oleh Korporasi
sepanjang alasan tersebut berhubungan langsung dengan
Tindak Pidana yang didakwakan kepada Korporasi.
BAB III
PEMIDANAAN, PIDANA, DAN TINDAKAN
Bagian Kesatu
Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
Paragraf 1
Tujuan Pemidanaan
Pasal 51
Pemidanaan bertujuan:
- mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat;
- memasyaralatkan terpidana dengan mengadalan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna;
- menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa arnan dan damai dalam masyarakat; dan menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pasal 52
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan
martabat manusia.
Paragraf 2
Pedoman Pemidanaan
Pasal 53
(1)Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib
menegakkan hukum dan keadilan.
(2)Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan,
hakim wajib mengutamakan keadilan.
Pasal 54
(1)Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
- bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana;
- motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana;
- sikap batin pelaku Tindak Pidana;
- Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan;
- cara melakukan Tindak Pidana;
- sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana;
- riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelalu Tindak Pidana;
- pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana;
- pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban;
- pemaafan dari Korban dan/atau keluarga Korban; dan/ atau
- nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(2)Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau
keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta
yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar
pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau
tidak mengenakan tindakan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Pasal 55
Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana tidak
dibebaskan dari pertanggungiawaban pidana berdasarkan
alasan peniadaan pidana jika orang tersebut telah dengan
sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat
menjadi alasan peniadaan pidana tersebut.
Pasal 56
Dalam pemidanaan terhadap Korporasi wajib
dipertimbangkan:
- tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan;
- tingkat keterlibatan pengunrs yang mempunyai kedudukan fungsional Korporasi dan/ atau peran pemberi perintah, pemegang kendali, dan/ atau pemilik manfaat Korporasi;
- lamanya Tindak Pidana yang telah dilakukan;
- frekuensi Tindak Pidana oleh Korporasi;
- bentuk kesalahan Tindak Pidana;
- keterlibatanPejabat;
- nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;
- rekam jejak Korporasi dalam melakukan usaha atau kegiatan;
- pengaruh pemidanaan terhadap Korporasi; dan/ atau
- kerja sama Korporasi dalam penanganan Tindak Pidana.
Paragraf 3
Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan
Perumusan Alternatif
Pasal 57
Dalam hal Tindak Pidana diancam dengan pidana pokok
secara alternatif, penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan
harus lebih diutamakan, jika hal itu dipertimbangkan telah
sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan
pemidanaan.
Paragraf 4
Pemberatan Pidana
Pasal 58
Faktor yang memperberat pidana meliputi:
- Pejabat yang melakukan Tindak Pidana sehingga melanggar kewajiban jabatan yang khusus atau melakukan Tindak Pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan;
- penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan Tindak Pidana; atau
- pengulangan Tindak Pidana.
Pasal 59
Pemberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dapat
ditambah paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari maksimum
ancaman pidana.
Paragraf 5
Ketentuan Lain tentang Pemidanaan
Pasal 60
(1)Pidana penjara dan pidana tutupan bagi terpidana yang
sudah berada di dalam tahanan mulai berlaku pada
saat putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(2)Dalam hal terpidana tidak berada di dalam tahanan,
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
pada saat putusan pengadilan mulai dilaksanakan.
Pasal 61
(1)Pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana denda
yang dijatuhkan dikurangi seluruh atau sebagian masa
penangkapan dan/atau penahanan yang telah dijalani
terdakwa sebelum putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(2)Pengurangan pidana denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disepadankan dengan penghitungan
pidana penjara pengganti denda.
Pasal 62
(1)Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan
pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan
pidana mati.
(2)Ketentuan mengenai syarat dan tata cara permohonan
grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Undang-Undang.
Pasal 63
Jika narapidana melarikan diri, masa selama narapidana
melarikan diri tidak diperhitungkan sebagai waktu menjalani
pidana penjara.
Bagian Kedua
Pidana dan Tindakan
Paragraf 1
Pidana
Pasal 64
Pidana terdiri atas:
- pidana pokok;
- pidana tambahan; dan
- pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.
Pasal 65
(1)Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
huruf a terdiri atas:
- pidana penjara;
- pidana tutupan;
- pidana pengawasan;
- pidana denda; dan
- pidana kerja sosial.
(2)Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menentukan berat atau ringannya pidana.
Pasal 66
(1)Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 huruf b terdiri atas:
- pencabutan hak tertentu;
- perampasan Barang tertentu dan/ atau tagihan;
- pengumuman putusan hakim;
- pembayaran ganti nrgi;
- pencabutan izin tertentu; dan
- pemenuhan kewajiban adat setempat.
(2)Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dikenakan dalam hal penjatuhan pidana
pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan.
(3)Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dijatuhkan 1 (satu) jenis atau lebih.
(4)Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan
sama dengan pidana tambahan untuk Tindak
Pidananya.
(5)Pidana tambahan bagi anggota Tentara Nasional
Indonesia yang melakukan Tindak Pidana da-lam
perkara koneksitas dikenakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional
Indonesia.
Pasal 67
Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu
diancamkan secara alternatif.
Pasal 68
(1)Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau
untuk waktu tertentu.
(2)Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling
lama 15 (lima belas) tahun berturut turut atau paling
singkat 1 (satu) Hari, kecuali ditentukan minimum
khusus.
(3)Dalam hal terdapat pilihan antara pidana mati dan
pidana penjara seumur hidup atau terdapat pemberatan
pidana atas Tindak Pidana yang dijatuhi pidana penjara
15 (lima belas) tahun, pidana penjara untuk waktu
tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh)
tahun berturut turut.
(4)Pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh
dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 69
(1)Jika narapidana yang menjalani pidana penjara seumur
hidup telah menjalani pidana penjara paling singkat 15
(lima belas) tahun, pidana penjara seumur hidup dapat
diubah menjadi pidana penjara 20 (dua puluh) tahun
dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan
pertimbangan Mahkamah Agung.
(2)Ketentuan mengenai tata cara perubahan pidana
penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 (dua
puluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 70
(1)Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan
Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak
dijatuhkan jika ditemukan keadaan:
- terdakwa adalah Anak;
- terdakwa berumur di atas 75 (tujuh puluh lima) tahun;
- terdakwa baru pertama kali melakukan Tindak Pidana;
- kerugian dan penderitaan Korban tidak terlalu besar;
- terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban;
- terdakwa tidak menyadari bahwa Tindak Pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;
- Tindak Pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
- Korban Tindak Pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya Tindak Pidana tersebut;
- Tindak Pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;
- kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan Tindak Pidana yang lain;
- pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;
- pembinaan di luar lemb"ga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa;
- penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat Tindak Pidana yang dilakukan terdakwa;
- Tindak Pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/ atau
- Tindak Pidana terjadi karena kealpaan.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi:
- Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
- Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus;
- Tindak Pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat; atau
- Tindak Pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Pasal 71
(1)Jika seseorang melakukan Tindak Pidana yang hanya
diancam dengan pidana penjara di bawah 5 (lima)
tahun, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu
menjatuhkan pidana penjara setelah
mempertimbangkan tujuan pemidanaan dan pedoman
pemidanaan sebagai62na dimaksud dalam Pasal 51
sampai dengan Pasal 54, orang tersebut dapat dijatuhi
pidana denda.
(2)Pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dijatuhkan jika:
- tanpa Korban;
- Korban tidak mempermasalahkan; atau
- bukan pengulangan Tindak Pidana.
(3)Pidana denda yang dapat dijatuhkan berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pidana denda paling banyak kategori V dan pidana
denda paling sedikit kategori III.
(4)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (21
huruf c tidak berlaku bagi orang yang pernah dijatuhi
pidana penjara untuk Tindak Pidana yang dilakukan
sebelum berumur 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 72
(1)Narapidana yang telah menjalani paling singkat
2l 3 ldua per tiga) dari pidana penjara yang dijatuhkan
dengan ketentuan 213 ldua per tiga) tersebut tidak
kurang dari 9 (sembilan) Bulan dapat diberi
pembebasan bersyarat.
(2)Narapidana yang menjalani beberapa pidana penjara
berturut turut rlianggap jumlah pidananya sebagai
1 (satu) pidana.
(3)Dalam memberikan pembebasan bersyarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan masa
percobaan dan syarat yang harus dipenuhi selama masa
percobaan.
(4)Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum
dijalani ditambah dengan 1 (satu) tahun.
(5)Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
ditahan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara
lain tidak diperhitungkan waktu penahanannya sebagai
masa percobaan.
Pasal 73
(1)Syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan
sebagaimana dimalsud dalam Pasal 72 ayal (3) terdiri
atas:
- syarat umum berupa narapidana tidak akan melakukan Tindak Pidana; dan
- syarat khusus berupa narapidana harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama, menganut kepercayaan, dan berpolitik, kecuali ditentukan lain oleh hakim.
(2)Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dapat diubah, dihapus, atau diadakan syarat
baru yang semata-mata bertujuan untuk
pembimbingan narapidana.
(3)Narapidana yang melanggar syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dicabut pembebasan
bersyaratnya.
(4)Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak dapat dicabut setelah melampaui 3 (tiga)
Bulan terhitung sejak saat habisnya masa percobaan,
kecuali dalam waktu 3 (tiga) Bulan terhitung sejak
habisnya masa percobaan, narapidana dituntut karena
melakukan Tindak Pidana yang dilakukan dalam masa
percobaan.
(5)Dalam hal narapidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dijatuhi pidana penjara untuk waktu tertentu
atau pidana denda paling sedikit kategori [I,
pembebasan bersyarat yang bersangkutan dicabut.
Pasal 74
(1)Orang yang melakukan Tindak Pidana yang diancam
dengan pidana penjara karena keadaan pribadi,
perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan.
(2)Pidana tutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan
Tindak Pidana karena terdorong oleh maksud yang
patut dihormati.
(3)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku, jika cara melakukan atau akibat dari Tindak
Pidana tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa
lebih tepat untuk dljatuhi pidana penjara.
Pasal 75
Terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dapat
dijatuhi pidana pengawasan dengan tetap memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai
dengan Pasal 54 dan Pasal 70.
Pasal 76
(1)Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 dijatuhkan paling lama sama dengan pidana
penjara yang diancamkan yang tidak lebih dari 3 (tiga)
tahun.
(2)Dalam putusan pidana pengawasan ditetapkan syarat
umum, berupa terpidana tidak akan melakukan Tindak
Pidana lagi.
(3)Selain syarat umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dalam putusan juga dapat ditetapkan syarat
khusus, berupa:
- terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan harus mengganti seluruh atau sebagian kemgian yang timbul akibat Tindak Pidana yang dilakukan; dan/atau
- terpidana harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu tanpa mengurangi kemerdekaan beragama, kemerdekaan menganut kepercayaan, dan/atau kemerdekaan berpolitik.
(4)Dalam hal terpidana melanggar syarat umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana wajib
menjalani pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari
ancarnan pidana penjara bagi Tindak Pidana itu.
(5)Dalam hal terpidana melanggar syarat khusus tanpa
alasan yang sah, jaksa berdasarkan pertimbangan
pembimbing kemasyarakatan mengusulkan kepada
hakim agar terpidana menjalani pidana penjara atau
memperpanjang masa pengawasan yang ditentukan
oleh hakim yang lamanya tidak lebih dari pidana
pengawasan yang dij atuhkan.
(6)Jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa
pengawasan kepada hakim jika selama dalam
pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang
baik, berdasarkan pertimbangan pembimbing
(7)Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara dan batas
pengurangan dan perpanjangan masa pengawasan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 77
(1)Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan
melakukan Tindak Pidana dan dijatuhi pidana yang
bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, pidana
pengawasan tetap dilaksanakan.
(2)Jika terpidana dijatuhi pidana penjara, pidana
pengawasan ditunda dan dilaksanakan kembali setelah
terpidana selesai menjalani pidana penjara.
Pasal 78
(1)Pidana denda merupakan sejumlah uang yang wajib
dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan
pengadilan.
(2)Jika tidak ditentukan minimum khusus, pidana denda
ditetapkan paling sedikit Rp50.000,00 (lima puluh ribu
rupiah).
Pasal 79
(1)Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:
- kategori I, Rp1.000.00O,0O (satu juta rupiah);
- kategori II, Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
- kategori III, Rp50.0O0.O00,0O (lima puluh juta rupiah);
- kategori IV, Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
- kategori V, Rp500.000.000,O0 (lima ratus juta rupiah);
- kategori VI, Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
- kategori VII, RpS.0O0.O00.0O0,O0 (lima miliar rupiah); dan
- kategori VIII, Rp5O.0O0.O0O.00O,0O (lima puluh miliar rupiah).
(2)Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan
besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 80
(1)Dalam menjatuhkan pidana denda, hakim wajib
mempertimbangkan kemampuan terdakwa dengan
memperhatikan penghasilan dan pengeluaran terdakwa
secara nyata,
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi penerapan minimum khusus pidana denda
yang ditetapkan.
Pasal 81
(1)Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu
tertentu yang dimuat dalam putusan pengadilan.
(2)Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat menentukan pembayaran pidana denda
dengan cara mengangsur.
(3)Jika pidana denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dibayar dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, kekayaan atau pendapatan terpidana dapat
disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana
denda yang tidak dibayar.
Pasal 82
(1)Jika penyitaan dan pelelangan kekayaan atau
pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
ayat (3) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan, pidana denda yang tidak dibayar tersebut
diganti dengan pidana penjara, pidana pengawasan,
atau pidana kerja sosial dengan ketentuan pidana
denda tersebut tidak melebihi pidana denda kategori II.
(2)Lama pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
- untuk pidana penjara pengganti, paling singkat I (satu) Bulan dan paling lama 1 (satu) tahun yang dapat diperberat paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) Bulan jika ada perbarengan;
- untuk pidana pengawasan pengganti, paling singkat I (satu) Bulan dan paling lama 1 (satu) tahun, berlaku syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat(2)dan ayat (3); atau
- untuk pidana kerja sosial pengganti paling singkat 8 (delapan) jam dan paling lama 240 (dua ratus empat puluh) jam.
(3)Jika pada saat menjalani pidana pengganti sebagian
pidana denda dibayar, lama pidana pengganti dikurangi
menurut ukuran yang sepadan.
(4)Perhitungan lama pidana pengganti sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada ukuran untuk
setiap pidana denda Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) atau kurang yang disepadankan dengan:
- 1 (satu) jam pidana kerja sosial pengganti; atau
- 1 (satu) Hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti.
Pasal 83
(1)Jika penyitaan dan pelelangan kekayaan atau
pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
ayat (3) tidak dapat dilakukan, pidana denda di atas
kategori II yang tidak dibayar diganti dengan pidana
penjara paling singkat I (satu) tahun dan paling lama
sebagaimana diancamkan untuk Tindak Pidana yang
bersangkutan.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82
ayat (3) berlaku juga untuk ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sepanjang mengenai pidana
penjara pengganti.
Pasal 84
Setiap Orang yang telah berulang kali dijatuhi pidana denda
untuk Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana
denda paling banyak kategori II dapat dijatuhi pidana
pengawasan paling lama 6 (enam) Bulan dan pidana denda
yang diperberat paling banyak 1/3 (satu per tiga).
Pasal 85
(1)Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa
yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan
pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim
menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam)
Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2)Dalam menjatuhkan pidana kerja sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
mempertimbangkan:
- pengakuan terdakwa terhadap Tindak Pidana yang dilakukan;
- kemampuan kerja terdakwa;
- persetujuan . . .
- persetqjuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;
- riwayat sosial terdakwa;
- pelindungan keselamatan kerja terdalwa;
- agama, kepercayaan, dan keyakinan politik terdakwa; dan
- kemampuan terdakwa membayar pidana denda.
(3)Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh
dikomersialkan.
(4)Pidana kerja sosial dijatuhkan paling singkat 8 (delapan)
jam dan paling lama 24O (d:ua ratus empat puluh) jam.
(5)Pidana kerja sosial dilaksanakan paling lama
8 (delapan) jam dalam 1 (satu) Hari dan dapat diangsur
dalam waktu paling lama 6 (enam) Bulan dengan
memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan
mata pencahariannya dan/ atau kegiatan lain yang
bermanfaat.
(6)Pelaksanaan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dimuat dalam putusan pengadilan.
(7)Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) juga memuat perintah jika terpidana tanpa
alasan yang sah tidak melaksanakan seluruh atau
sebagian pidana kerja sosial, terpidana wajib:
- mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut;
- menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau
- membayar seluruh atau sebagran pidana denda yang diganti dengan pidana keda sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar.
(8)Pengawasan terhadap pelaksanaan pidana kerja sosial
dilakukan oleh jaksa dan pembimbingan dilakukan oleh
pembimbing kemasyarakatan.
(9)Putusan pengadilan mengenai pidana kerja sosial juga
harus memuat:
- lama pidana penjara atau besarnya denda yang se sungguhnya dijatuhkan oleh hakim;
- lama pidana kerja sosial harus dijalani, dengan mencantumkan jumlah jam per Hari dan jangka waktu penyelesaian pidana kerja sosial; dan
- sanksi jika terpidana tidak menjalani pidana kerja sosial yang dijatuhkan.
Pasal 86
Pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a
dapat berupa:
- hak memegang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu;
- hak menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
- hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
- hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas orang yang bukan Anaknya sendiri;
- hak menjalankan Kekuasaan Ayah, menjalankan perwalian, atau mengampu atas Anaknya sendiri;
- hak menjalankan profesi tertentu; dan/ atau
- hak memperoleh pembebasan bersyarat.
Pasal 87
Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang, pencabutan hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a, huruf b,
hunrf c, dan huruf f hanya dapat dilakukan jika pelaku
dipidana karena melakukan Tindak Pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berupa:
- Tindak Pidana terkait jabatan atau Tindak Pidana yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan;
- Tindak Pidana yang terkait dengan profesinya; atau
- Tindak Pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan atau profesinya.
Pasal 88
Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang, pencabutan
hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf d dan
huruf e, hanya dapat dilakukan jika pelaku dipidana karena:
- dengan sengaja melakukan Tindak Pidana bersamasama dengan Anak yang berada dalam kekuasaannya; atau
- melakukan Tindak Pidana terhadap Anak yang berada dalam kekuasaannya.
Pasal 89
Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang, pencabutan
hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf g hanya
dapat dilakukan jika pelaku dipidana karena:
- melakukan Tindak Pidana jabatan atau Tindak Pidana yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan;
- menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan; atau
- melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau lebih.
Pasal 90
(1)Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan, lama
pencabutan wajib ditentukan jika:
- dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pencabutan hak dilakukan untuk selamanya;
- dijatuhi pidana penjara, pidana tutupan, atau pidana pengawasan untuk waktu tertentu, pencabutan hak dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang diiatuhkan; atau
- dijatuhi pidana denda, pencabutan hak dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b tidak berlaku jika yang dicabut adalah hak
memperoleh pembebasan bersyarat.
(3)Pidana pencabutan hak mulai berlaku pada tanggal
putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Pasal 91
Pidana tambahan berupa perErmpasan Barang tertentu
dan/atau tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
ayat (1) huruf b yang dapat dirampas meliputi Barang
tertentu dan/ atau tagihan:
- yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan Tindak Pidana;
- yang khusus dibuat atau diperuntukkan mewujudkan Tindak Pidana;
- yang berhubungan dengan terwujudnya Tindak Pidana;
- milik terpidana atau orang lain yang diperoleh dari Tindak Pidana;
- dari keuntungan ekonomi yang diperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung dari Tindak Pidana; dan/ atau
- yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 92
(1)Pidana tambahan berupa perampasan Barang tertent
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dapat
dijatuhkan atas Barang yang tidak disita dengan
menentukan bahwa Barang tersebut harus diserahkan
atau diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran
hakim sesuai dengan harga pasar.
(2)Dalam hal Barang yang tidak disita sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diserahkan, Barang
tersebut diganti dengan sejumlah uang menurut
taksiran hakim sesuai dengan harga pasar.
(3)Jika terpidana tidak mampu membayar seluruh atau
sebagian harga pasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), diberlakukan ketentuan pidana pengganti
untuk pidana denda.
Pasal 93
(1)Jika dalam putusan pengadilan diperintahkan supaya
putusan diumumkan, harus ditetapkan cara
melaksanakan pengumuman tersebut dengan biaya
yang ditanggung oleh terpidana.
(2)Jika biaya pengumum€rn sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dibayar oleh terpidana, diberlakukan
ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.
Pasal 94
(1)Dalam putusan pengadilan dapat ditetapkan kewajiban
terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti rugi
kepada Korban atau ahli waris sebagai pidana
tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
ayat (1) huruf d.
(2)Jika kewajiban pembayaran ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan,
diberlakukan ketentuan tentang pelaksanaan pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 sampai
dengan Pasal 83 secara mutatis mutandis.
Pasal 95
(1)Pidana tambahan berupa pencabutan izin dikenakan
kepada pelaku dan pembantu Tindak Pidana yang
melakukan Tindak Pidana yang berkaitan dengan izin
yang dimiliki.
(2)Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan:
- keadaan yang menyertai Tindak Pidana yang dilakukan;
- keadaan yang menyertai pelaku dan pembantu Tindak Pidana; dan
- keterkaitan kepemilikan izin dengan usaha atau kegiatan yang dilakukan.
(3)Dalam hal dijatuhi pidana penjara, pidana tutupan,
atau pidana pengawasan untuk waktu tertentu,
pencabutan izin dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana
pokok yang dijatuhkan.
(4)Dalam hal dljatuhi pidana denda, pencabutan izin
berlaku paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun.
(5)Pidana pencabutan izin mulai berlaku pada tanggal
putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Pasal 96
(1)Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat
setempat diutamakan jika Tindak Pidana yang
dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2)Pemenuhan kewajiban adat setempat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan
pidana denda kategori II.
(3)Dalam hal kewajiban adat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dipenuhi, pemenuhan kewajiban adat
diganti dengan ganti rugi yang nilainya setara dengan
pidana denda kategori II.
(4)Dalam hal ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak dipenuhi, ganti rugi diganti dengan pidana
pengawasan atau pidana kerja sosial.
Pasal 97
Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat
setempat dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam
perumusan Tindak Pidana dengan tetap memperhatikan
ketentuan Pasal 2 ayat(21.
Pasal 98
Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya
terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan
mengayomi masyarakat.
Pasal 99
(1)Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan
grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
(2)Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilaksanakan Di Muka Umum.
(3)Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana
sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain
yang ditentukan dalam Undang-Undang.
(4)Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil,
perempuan yang sedang menyusui bayinya, atau orang
yang sakit jiwa ditunda sampai perempuan tersebut
melahirkan, perempuan tersebut tidak lagi menyusui
bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Pasal 100
(1)Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa
percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan
memperhatikan:
- rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
- peran terdakwa dalam Tindak Pidana.
(2)Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam
putusan pengadilan.
(3)Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun
dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4)Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan
perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah
menjadi pidana penjara seumur hidup dengan
Keputusan Presiden setelah mendapatkan
pertimbangan Mahkamah Agung.
(5)Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan Presiden
ditetapkan.
(6)Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan
perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk
diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas
perintah Jaksa Agung.
Pasal 101
Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana
mati tidak dilaksanakan selama l0 (sepuluh) tahun sejak
grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana
mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup
dengan Keputusan Presiden.
Pasal 102
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
pidana mati diatur dengan Undang-Undang.
Paragraf 2
Tindakan
Pasal 103
(1)Tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan
pidana pokok berupa:
- konseling;
- rehabilitasi;
- pelatihan kerja;
- perawatan di lembaga; dan/ atau
- perbaikan akibat Tindak Pidana.
(2)Tindakan yang dapat dikenakan kepada Setiap Orang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39
berupa:
- rehabilitasi;
- penyerahan kepada seseorang;
- perawatan di lembaga;
- penyerahan kepada pemerintah; dan/ atau
- perawatan di rumah sakit jiwa.
(3)Jenis, jangka waktu, tempat, dan/ atau pelaksanaan
tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam putusan pengadilan.
Pasal 104
Da1am menjatuhkan putusan berupa tindakan, hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 sampai dengan Pasal 54.
Pasal 105
(1)Tindakan rehabilitasi dikenalan kepada terdakwa yang:
- kecanduan alkohol, narkotika, psikotropika, d.an zat adiktif lainnya; dan/ atau
- menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual.
(2)Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
- rehabilitasi medis;
- rehabilitasi sosial; dan
- rehabilitasi psikososial.
Pasal 106
(1)Dalam mengenakan tindakan pelatihan kerja, hakim
wajib mempertimbangkan :
- kemanfaatan bagi terdakwa;
- kemampuan terdakwa; dan
- jenis pelatihan kerja.
(2)Dalam menentukan jenis pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, hakim wajib
memperhatikan pengalaman kerja dan tempat tinggal
terdakwa.
Pasal 107
Tindakan perawatan di lembaga dikenakan berdasarkan
keadaan pribadi terdakwa serta demi kepentingan terdakwa
dan masyarakat.
Pasal 108
Tindakan perbaikan akibat Tindak Pidana adalah upaya
memulihkan atau memperbaiki kerusakan akibat Tindak
Pidana menjadi seperti semula.
Pasal 109
Tindakan penyerahan terdakwa kepada pemerintah atau
seseorang dikenakan demi kepentingan terdakwa dan
masyarakat.
Pasal 110
(1)Tindakan perawatan di rumah sakit jiwa dikenakan
terhadap terdakwa yang dilepaskan dari segala
tuntutan hukum dan masih dianggap berbahaya
berdasarkan hasil penilaian dokter jiwa.
(2)Penghentian tindakan perawatan di rumah sakit jiwa
dilakukan jika yang bersangkutan tidak memerlukan
perawatan lebih lanjut berdasarkan hasil penilaian
dokter jiwa.
(3)Penghentian tindakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan berdasarkan penetapan halim yang
memeriksa perkara pada tingkat pertama yang
diusulkan oleh jaksa.
Pasal 111
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
pidana dan tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 sampai dengan Pasal 110 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga
Diversi, Tindakan, dan Pidana bagi Anak
Paragraf 1
Diversi
Pasal 112
Anak yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan
pidana penjara di bawah 7 (tqjuh) tahun dan bukan
merupakan pengulangan Tindak Pidana wajib diupayakan
diversi.
Paragraf 2
Tindakan
Pasal 113
(1)Setiap Anak dapat dikenai tindakan berupa:
- pengembalian kepada Orang Tua/wali;
- penyerahan kepada seseorang;
- perawatan di rumah sakit jiwa;
- perawatan di lembaga;
- kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/ atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
- pencabutan Surat izin mengemudi; dan/ atau
- perbaikan akibat Tindak Pidana.
(2)Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1
(satu) tahun.
(3)Anak di bawah umur 14 (empat belas) tahun tidak dapat
dijatuhi pidana dan hanya dapat dikenai tindakan.
Paragraf 3
Pidana
Pasal 114
Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap Anak berupa:
- pidana pokok; dan
- pidana tambahan.
Pasal 115
Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114
huruf a terdiri atas:
- pidana peringatan;
- pidana dengan syarat:
- pembinaan di luar lembaga;
- pelayanan masyarakat; atau
- pengawasan.
- pelatihan kerja;
- pembinaan dalam lembaga; dan
- pidana penjara.
Pasal 116
Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114
huruf b terdiri atas:
- perampasan keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana; atau
- pemenuhan kewajiban adat.
Pasal 117
Ketentuan mengenai diversi, tindakan, dan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 sampai dengan
Pasal 116 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Keempat
Pidana dan Tindakan bagi Korporasi
Paragraf 1
Pidana
Pasal 118
Pidana bagi Korporasi terdiri atas:
- pidana pokok; dan
- pidana tambahan.
Pasal 119
Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118
huruf a adalah pidana denda.Pasal l20
(1)Pidana tambahan bagl Korporasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 118 huruf b terdiri atas:
- pembayaran ganti nrgi;
- perbaikan akibat Tindak Pidana;
- pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan;
- pemenuhan kewajiban adat;
- pembiayaan pelatihan kerja;
- perampasan Barang atau keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana;
- pengumuman putusan pengadilan;
- pencabutan izin tertentu;
- pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;
- penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/ atau kegiatan Korporasi;
- pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha Korporasi; dan
- pembubaran Korporasi.
(2)Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf h, huruf j, dan huruf k dijatuhkan paling lama
2 (dua) tahun.
(3)Dalam hal Korporasi tidak melaksanakan pidana
tambahan s6lagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf e, kekayaan atau pendapatan
Korporasi dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk
memenuhi pidana tambahan yang tidak dipenuhi.
Pasal 121
(1)Pidana denda untuk Korporasi dljatuhi paling sedikit
kategori IV, kecuali ditentukan lain oleh UndangUndang.
(2)Dalam hal Tindak Pidana yang dilakukan diancam
dengan:
- pidana penjara di bawah 7 (tqiuh) tahun, pidana denda paling banyak untuk Korporasi adalah kategori VI;
- pidana penjara paling lama 7 (tqjuh) sampai dengan paling lama 15 (lima belas) tahun, pidana denda paling banyak untuk Korporasi adalah kategori VII; atau
- pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana denda paling banyak untuk Korporasi adalah kategori VIII.
Pasal 122
(1)Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu
tertentu yang dimuat dalam putusan pengadilan.
(2)Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat menentukan pembayaran pidana denda
dengan cara mengangsur.
(3)Jika pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dibayar dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, kekayaan atau pendapatan Korporasi dapat
disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana
denda yang tidak dibayar.
(4)Dalam hal kekayaan atau pendapatan Korporasi tidak
mencukupi untuk melunasi pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Korporasi dikenai pidana
pengganti berupa pembekuan sebagian atau seluruh
kegiatan usaha Korporasi.
Paragraf 2
Tindakan
Pasal 123
Tindakan yang dapat dikenakan bagi Korporasi:
- pengambilalihanKorporasi;
- penempatan di bawah pengawasan; dan/ atau
- penempatan Korporasi di bawah pengampuan.
Pasal 124
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
pidana dan tindakan bagi Korporasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 118 sampai dengan Pasal 123 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Perbarengan
Pasal 125
(1)Suatu perbuatan yang memenuhi lebih dari 1 (satu)
ketentuan pidana yang diancam dengan ancaman
pidana yang sama hanya dijatuhi 1 (satu) pidana,
sedangkan jika ancaman pidananya berbeda dijatuhi
pidana pokok yang paling berat.
(2)Suatu perbuatan yang diatur dalam aturan pidana
umum dan aturan pidana khusus hanya dijatuhi aturan
pidana khusus, kecuali Undang-Undang menentukan
lain.
Pasal 126
(1)Jika terjadi perbarengan beberapa Tindak Pidana yang
saling berhubungan sehingga dipandang sebagai
perbuatan berlanjut dan diancam dengan ancarnan
pidana yang sama, hanya dijatuhi 1 (satu) pidana.
(2)Jika perbarengan Tindak Pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diancam dengan pidana yang
berbeda, hanya dijatuhi pidana pokok yang terberat.
Pasal 127
(1)Jika terjadi perbarengan beberapa Tindak Pidana yang
harus dipandang sebagai Tindak Pidana yang berdiri
sendiri dan diancam dengan pidana pokok yang sejenis,
hanya diiatuhkan I (satu) pidana.
(2)Maksimum pidana untuk perbarengan Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah
pidana yang diancamkan pada semua Tindak Pidana
tersebut, tetapi tidak melebihi pidana yang terberat
ditambah 1/3 (satu per tiga).
Pasal 128
(1)Jika terjadi perbarengan beberapa Tindak Pidana yang
harus dipandang sebagai Tindak Pidana yang berdiri
sendiri dan diancam dengan pidana pokok yang tidak
sejenis, pidana yang dijatuhkan adalah semua jenis
pidana untuk Tindak Pidana masing-masing, tetapi
tidak melebihi maksimum pidana yang terberat
ditambah l/3 (satu per tiga).
(2)Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan pidana denda, penghitungan denda
didasarkan pada lama maksimum pidana penjara
pengganti pidana denda.
(3)Jika Tindak Pidana yang dilakukan diancam dengan
pidana minimum, minimum pidana untuk perbarengan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah
pidana minimum khusus untuk Tindak Pidana masingmasing, tetapi tidak melebihi pidana minimum khusus
terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).
Pasal 129
Jika dalam perbarengan Tindak Pidana dljatuhi pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, terdakwa tidak boleh
dijatuhi pidana lain, kecuali pidana tambahan, yakni:
- pencabutan hak tertentu;
- perampasan Barang tertentu; dan/ atau
- pengumuman putusan pengadilan.
Pasal 130
(1)Jika terjadi perbarengan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 127 dan Pasal 129, penjatuhan pidana tambahan
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
- pidana pencabutan hak yang sama dijadikan satu
dengan ketentuan:
- paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang dljatuhkan; atau
- apabila pidana pokok yang diancamkan hanya pidana denda, lama pidana paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
- pidana pencabutan hak yang berbeda dijatuhkan secara sendiri-sendiri untuk tiap Tindak Pidana tanpa dikurangi; atau
- pidana perampasan Barang tertentu atau pidana pengganti dijatuhkan secara sendiri-sendiri untuk tiap Tindak Pidana tanpa dikurangi.
(2)Ketentuan mengenai lamanya pidana pengganti bagi
pidana perampasan Barang tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat. (1) huruf c berlaku ketentuan
pidana pengganti untuk denda.
Pasal 131
(1)Jika Setiap Orang telah dijatuhi pidana dan kembali
dinyatakan bersalah melakukan Tindak Pidana lain
sebelum putusan pidana itu diiatuhkan, pidana yang
terdahulu diperhitungkan terhadap pidana yang akan
dijatuhkan dengan menggunalan aturan perbarengan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 sampai dengan
Pasal l3O, seperti jika Tindak Pidana itu diadili secara
bersama.
(2)Jika pidana yang dijatuhkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) telah mencapai maksimum pidana, hakim
cukup menyatakan bahwa terdakwa bersalah tanpa
perlu diikuti pidana.
BAB IV
GUGURNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN
DAN PELAKSANAAN PIDANA
Bagian Kesatu
Gugurnya Kewenangan Penuntutan
Pasal 132
(1)Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika:
- ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Setiap Orang atas perkara yang sama;
- tersangka atau terdakwa meninggal dunia;
- kedaluwarsa;
- maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II;
- maksimum pidana denda kategori IV dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama I (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
- ditariknya pengaduan bagi Tindak Pidana aduan;
- telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang; atau
- diberikannya amnesti atau abolisi.
(2)Ketentuan mengenai gugurnya kewenangan
penuntutan bagi Korporasi memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121.
Pasal 133
(1)Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132
ayat (1) huruf d dan huruf e serta biaya yang telah
dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, dibayarkan
kepada Pejabat yang berwenang dalam jangka waktu
yang telah ditetapkan.
(2)Jika diancamkan pula pidana tambahan berupa
perampasan Barang atau tagihan, Barang dan/ atau
tagihan yang dirampas harus diserahkan atau harus
dibayar menurut taksiran Pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam hal Barang dan/ atau
tagihan tersebut sudah tidak berada dalam kekuasaan
terpidana.
(3)Jika pidana diperberat ka-rena pengulangan,
pemberatan tersebut tetap berlaku sekalipun
kewenangan menuntut pidana terhadap Tindak Pidana
yang dilakukan lebih dahulu gugur berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132
ayat (1) huruf d dan huruf e.
Pasal 134
Seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam
1 (satu) perkara yang sama jika untuk perkara tersebut telah
ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Pasal 135
Jika putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134
berasal dari pengadilan luar negeri, terhadap Setiap Orang
yang melakukan Tindak Pidana yang sama tidak boleh
diadakan penuntutan dalam hal:
- putusan bebas dari tuduhan atau lepas dari segala tuntutan hukum; atau
- putusan berupa pemidanaan dan pidananya telah dijalani seluruhnya, telah diberi ampun, atau pelaksanaan pidana tersebut kedaluwarsa.
Pasal 136
(1)Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur karena
kedaluwarsa apabila:
- setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau hanya denda paling banyak kategori III;
- setelah melampaui waktu 6 (enam) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun;
- setelah melampaui waktu 12 (dua belas) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun;
- setelah melampaui waktu 18 (delapan belas) tahun untuk Tindal< Pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
- setelah melampaui waktu 20 (dua puluh) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
(2)Dalam hal Tindak Pidana dilakukan oleh Anak,
tenggang waktu gugurnya kewenangan untuk menuntut
karena kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikurangi menjadi 1/3 (satu per tiga).
Pasal 137
Jangka waltu kedaluwarsa dihitung mulai keesokan hari
setelah perbuatan dilalukan, kecuali bagi:
- Tindak Pidana pemalsuan dan Tindak Pidana perusakan mata uang, kedaluwarsa dihitung mulai keesokan harinya setelah Barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan; atau
- Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 450, Pasal 451, dan Pasal 452 kedaluwarsa dihitung mulai keesokan harinya setelah Korban Tindak Pidana dilepaskan atau mati sebagai akibat langsung dari Tindak Pidana tersebut.
Pasal 138
(1)Tindakan penuntutan Tindak Pidana menghentikan
tenggang waktu kedaluwarsa.
(2)Penghentian tenggang waktu kedaluwarsa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung keesokan hari setelah
tersangka atau terdakwa mengetahui atau
diberitahukan mengenai penuntutan terhadap dirinya
yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3)Setelah kedaluwarsa dihentikan karena tindakan
penuntutan, mulai diberlakukan tenggang waktu
kedaluwarsa baru.
Pasal 139
Apabila penuntutan dihentikan untuk sementara waktu
karena ada sengketa hukum yang harus diputuskan lebih
dahulu, tenggang waktu kedaluwarsa penuntutan menjadi
tertunda sampai sengketa tersebut mendapatkan putusan.
Bagian Kedua
Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana
Pasal 140
Kewenangan pelaksanaan pidana dinyatakan gugur, jika:
- terpidana meninggal dunia;
- kedaluwarsa;
- terpidana mendapat grasi atau amnesti; atau
- penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain.
Pasal 141
Jika terpidana meninggal dunia, pidana perampasan Barang
tertentu dan/atau tagihan yang telah disita tetap dapat
dilaksanakan.
Pasal 142
(1)Kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena
kedaluwarsa setelah berlaku tenggang waktu yang sama
dengan tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan
menuntut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136
ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2)Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana
harus melebihi lama pidana yang dijatuhkan kecuali
untuk pidana penjara seumur hidup.
(3)Pelaksanaan pidana mati tidak mempunyai tenggang
waktu kedaluwarsa,
(4)Jika pidana mati diubah menjadi pidana penjara
seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101,
kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena
kedaluwarsa setelah lewat waktu yang sama dengan
tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan menuntut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1)
huruf e ditambah 1 / 3 (satu per tiga) dari tenggang
waktu kedaluwarsa tersebut.
Pasal 143
(1)Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana
dihitung keesokan harinya sejak putusan pengadilan
dapat dilaksanakan.
(2)Apabila terpidana melarikan diri sewaktu menjalani
pidana maka tenggang waktu kedaluwarsa dihitung
keesokan harinya sejak tanggal terpidana tersebut
melarikan diri.
(3)Apabila pembebasan bersyarat terhadap narapidana
dicabut, tenggang waktu kedaluwarsa dihitung
keesokan harinya sejak tanggal pencabutan.
(4)Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana
ditunda selama:
- pelaksanaan pidana tersebut ditunda berdasarkan peraturan perundang-undangan; atau
- terpidana dirampas kemerdekaannya meskipun perampasan kemerdekaan tersebut berkaitan dengan putusan pengadilan untuk Tindak Pidana lain.
BAB V
PENGERTIAN ISTILAH
Pasal 144
Tindak Pidana adalah termasuk juga permufakatan jahat,
persiapan, percobaan, dan pembantuan melakukan Tindak
Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang.
Pasal 145
Setiap Orang adalah orang perseorangan, termasuk
Korporasi.
Pasal 146
Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang
dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan,
koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, badan usaha milik desa, atau yang disamakan
dengan itu, maupun perkumpulan yang tidak berbadan
hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan
komanditer, atau yang disamakan dengan itu.
Pasal 147
Barang adalah benda berwujud atau tidak berwujud, benda
bergerak atau tidak bergerak termasuk air dan uang giral,
aliran listrik, gas, data, dan program Komputer.
Pasal 148
Surat adalah dokumen yang ditulis di atas kertas, termasuk
juga dokumen atau data yang tertulis atau tersimpan dalam
disket, pita magnetik, atau media penylmpan Komputer atau
media penyimpan data elektronik lain.
Pasal 149
Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik dan
mental dan/ atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
Tindak Pidana.
Pasal 150
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 151
Orang Tua adalah termasuk juga kepala keluarga.
Pasal 152
Ayah adalah termasuk juga orang yang menjalankan
kekuasaan yang sama dengan Ayah.
Pasal 153
Kekuasaan Ayah adalah termasuk juga kekuasaan kepala
keluarga.
Pasal 154
Pejabat adalah setiap warga negara Indonesia yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat
yang berwenang dan diserahi tugas negara, atau diserahi
tugas lain oleh negara, dan digaji berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan, yaitu:
- aparatur sipil negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia;
- pejabat negara;
- pejabat publik;
- pejabat daerah;
- orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
- orang yang menerima gaji atau upah dari Korporasi yang selumh atau sebagran besar modalnya milik negara atau daerah; atau
- pejabat lain yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 155
Luka Berat adalah:
- sakit atau luka yang tidak ada harapan untuk sembuh dengan sempurna atau yang dapat menimbulkan bahaya maut;
- terus-menerus tidak cakap lagi melakukan tugas, jabatan, atau pekerjaan;
- tidak dapat menggunakan lagi salah satu panca indera atau salah satu anggota tubuh;
- cacat berat atau cacat permanen;
- lumpuh;
- daya pikir terganggu selama lebih dari 4 (empat) minggu;
- gugur atau matinya kandungan; atau
- rusaknya fungsi reproduksi.
Pasal 156
Kekerasan adalah setiap perbuatan dengan atau tanpa
menggunakan kekuatan fisik yang menimbulkan bahaya
bagi badan atau nyawa, mengakibatkan penderitaan fisik,
seksual, atau psikologis, dan merampas kemerdekaan,
termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
Pasal 157
Ancaman Kekerasan adalah setiap perbuatan berupa
ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik
dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk
elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa
takut, cemas, atau khawatir akan dilakukannya Kekerasan.
Pasal 158
Di Muka Umum adalah di suatu tempat atau Ruang yang
dapat dilihat, didatangi, diketahui, atau disaksikan oleh
orang lain baik secara langsung maupun secara tidak
langsung melalui media elektronik yang membuat publik
dapat mengakses Informasi Elektronik atau dokumen
elektronik.
Pasal 159
Harta Kekayaan adalah benda bergerak atau benda tidak
bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud,
yang memiliki nilai ekonomi.Pasal 16O
Makar adalah niat untuk melakukan serangan yang telah
diwujudkan dengan persiapan perbuatan tersebut.
Pasal 161
Perang adalah termasuk juga Perang saudara dengan
mengangkat senjata.
Pasal 162
Waktu Perang adalah termasuk waktu di mana bahaya
Perang mengancam dan/atau ada perintah untuk mobilisasi
Tentara Nasional Indonesia dan selama keadaan mobilisasi
tersebut masih berlangsung.
Pasal 163
Musuh adalah termasuk juga pemberontak dan negara atau
kekuasaan yang diperkirakan akan menjadi lawan Perang.
Pasal 164
Masuk adalah termasuk mengakses Komputer atau Masuk
ke dalam sistem Komputer.
Pasal 165
Memanjat adalah termasuk Masuk dengan melalui lubang
yang sudah ada tetapi tidak untuk tempat orang lewat, atau
Masuk melalui lubang dalam tanah yang sengaja digali, atau
Masuk melalui atau menyeberangi selokan atau parit yang
gunanya sebagai pembatas halaman.
Pasal 166
Anak Kunci Palsu adalah anak kunci duplikat termasuk juga
segala perkakas, sistem elektronik, atau yang disamakan
dengan itu yang tidak dimaksudkan untuk membuka kunci
yang digunalan untuk membuka kunci.
Pasal 167
Ruang adalah termasuk bentangan atau terminal Komputer
yang dapat diakses dengan cara tertentu.
Pasal 168
Bangunan Listrik adalah bangunan yang digunakan untuk
membangkitkan, mengalirkan, mengubah, atau
menyerahkan tenaga listrik, termasuk alat yang
berhubungan dengan itu, yaitu alat penjaga keselamatan,
alat pemasang, alat pendukung, alat pencegah, atau alat
pemberi peringatan.
Pasal 169
Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik,
magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi
logika, aritmatika, dan penyimpanan.
Pasal 170
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, mempertukarkan data
secara elektronik, Surat elektronik, telegram, pengkopian
jarakjauh atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.Pasal l7l
Kode Akses adalah angka, huruf, simbol lainnya atau
kombinasi diantaranya yang merupakan kunci untuk dapat
mengakses Komputer, jaringan Komputer, internet, atau
media elektronik lainnya.
Pasal 172
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, suara,
bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, atau bunyi pesan lainnya melalui berbagai bentuk
media komunikasi dan/atau pertunjukan Di Muka Umum,
yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang
melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Pasal 173
Pengusaha adalah orang yang menjalankan perusahaan atau
usaha dagang.
Pasal 174
Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apa
pun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin,
atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung
dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat
apung dan bangunan terapung yang tidak berpindahpindah.
Pasal 175
Penumpang adalah orang selain Nakhoda dan Anak Buah
Kapal yang berada di Kapal atau orang selain kapten
penerbang dan awak Pesawat Udara lain yang berada dalam
Pesawat Udara.
Pasal 176
Anak Buah Kapal adalah Awak Kapal selain Nakhoda.
Pasal 177
Awak Kapal adalah orurng yang bekerja atau dipeke{akan di
atas Kapal oleh pemilik atau operator Kapal yang melakukan
tugas di atas Kapal sesuai dengan jabatannya.
Pasal 178
Kapal Indonesia adalah Kapal yang didaftar di Indonesia dan
memperoleh Surat tanda kebangsaan Kapal Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 179
Nakhoda adalah salah seorang Awak Kapal yang menjadi
pemimpin tertinggi di Kapal dan mempunyai wewenang dan
tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 180
Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat
terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara,
tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi
yang digunakan untuk penerbangan.
Pasal 181
Dalam Penerbangan adalah jangka waktu sejak saat semua
pintu luar Pesawat Udara ditutup setelah naiknya
Penumpang sampai saat pintu dibuka untuk penurunan
Penumpang, atau dalam hal terjadi pendaratan darurat
penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat
penguasa yang berwenang mengambil alih tanggung jawab
atas Pesawat Udara dan Barang yang ada di dalam Pesawat
Udara.
Pasal 182
Dalam Dinas Penerbangan adalah jangka waktu sejak saat
Pesawat Udara disiapkan oleh awak darat atau oleh awak
pesawat untuk penerbangan tertentu sampai lewat
24 (dtua puluh empat) jam sesudah pendaratan.
Pasal 183
Ternak adalah hewan peliharaan yang dipenrntukkan
sebagai sumber pangan dan sumber mata pencaharian.
Pasal 184
Bulan adalah waktu 30 (tiga puluh) Hari.
Pasal 185
Hari adalah waktu selama 24 (&ta puluh empat) jam.
Pasal 186
Malam adalah waktu di antara matahari terbenam dan
matahari terbit.
BAB VI
ATURAN PENUTUP
Pasal 187
Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu
berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut
peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain
menurut Undang-Undang.